Senin, 08 Desember 2014

Diskusi dan Praktek Biopori BSMJ

Sabtu siang (6/9/2014) bertempat di teras barat Wisma Imanuel berlangsung diskusi biopori yang diadakan oleh komunitas BSMJ (Bank Sampah Mahasiswa Jogja). Kegiatan ini terselanggara akibat kegelisahan bersama komunitas mahasiswa terhadap masalah penurunan debit air tanah di sekitar mereka. Dampaknya mulai terasa bagi mahasiswa yang umumnya tinggal di rumah kost, saat mandi pagi contohnya, dulu air mengalir penuh dari kran, namun setahun belakangan hanya berupa tetesan. Ironis memang dengan kenyataan bahwa Yogyakarta adalah kota dengan curah hujan tinggi (2500 mm/thn). Apa penyebabnya ?

Saya tak akan banyak menguraikan penyebabnya namun salah satu penyebab utama adalah konservasi air tanah belum maksimal dilakukan. Kota dengan pembangunan tanpa sistem peresapan makin diperparah oleh penutupan lahan seperti aspal maupun paving block. Hal ini ditengarai sebagai penyabab utama kurangnya pasokan air ke dalam tanah dan meningkatkan aliran permukaan.

Yogyakarta sebagai kota pelajar semakin padat memicu semakin tingginya pemakaian air yang tidak diimbangi ketersediaan air tanah yang cukup. Terlepas dari semua itu berbagai cara digalakkan dinas terkait seperti sumur resapan dan biopori. Namun pemasangan sumur resapan dan biopori di kota belum maksimal. Mungkin kedua nama di atas belum poupuler dikalangan penduduk kota teruatama mahasiswa? Atau mahasiswa saat ini sibuk dengan membuat biopori dan sumur resapan virtual ?

Oleh karena itu BSMJ berupaya mempopulerkan upaya konservasi air tanah melalui biopori. Siang itu diskusi dipimpin oleh Stenly Recky Bontinge, mahasiswa TL dan koordinator BSMJ, diskusi berjalan sersan (serius tapi santai) diselingi lelucon khas mahasiswa. Diskusi ini tidak hanya diskusi biasa namun peserta diajak berinteraksi langsung mengenal alat pembuat biopori (bor, casing, paving block, pipa penyangga dll). Peserta terdiri dari mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dengan latar belakang disiplin ilmu berbeda. contohnya Once (arsitektur, UKDW), Hendri ( hukum, UJB), Edgar (Teknik Mesin, STTA), dll. Walau berbeda disiplin ilmu namun mereka terlihat antusias belajar, sebab mereka punya tujuan bersama yaitu menjaga kelestarian lingkungan hidup. Mereka juga paham bahwa biopori multi guna, bukan hanya meresapkan air, biopori juga dapat membuat pupuk kompos.

Diskusi ini dimuali pukul 10 pagi sampai pukul 12 siang, satu jam mereka terlihat bercengkrama dalam diskusi dan satu jam lagi mereka sudah dibagi dalam tiga kelompok pembuat LRB (lubang resapan biopori) mereka bersemangat sehingga terciptalah 6 buah LRB di tiga lokasi berbeda dalam lingkungan Wisma Imanuel. Turut hadir dalam acara tersebut, Pdt. Yeanne Tadu ( Pendeta Mahasiswa Yogyakarta) dan Pak Agung utusan dari GKI Gejayan. “ saya tertarik membuat banyak biopori dilingkungan sekitar tempat tinggal maupun digereja, sebab selain mengurangi genangan air, LRB juga dapat membuat pupuk dan menampung air cadangan air tanah, alangkah indah jika banyak mahasiswa melakukan hal positif seperti ini” komentar Pak Agung.

Siang itu terasa bermanfaat bagi peserta, mereka bangga bisa menghabiskan waktu secara produktif. Mereka berjanji akan menindaklanjuti pembuatan LRB di lingkungan masing-masing. Acara itu ditutup dengan makan siang bersama. Satu nilai yang mereka dapat bahwa perbuatan sederhana saat ini akan menetukan dampak besar dikemudian hari. Berkaryalah terus BSMJ. BJS/SRB    

Rabu, 20 Agustus 2014

Gereja Peduli Lingkungan

(Semiloka Gereja Peduli Lingkungan “Merawat Lingkungan Berbagi Kehidupan” Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah (SW) Jawa Tengah)

Krisis lingkungan hidup (ekologis) merupakan masalah besar yang menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan di bumi. Perubahan iklim merupakan salah satu contoh nyata yang mengakibatkan berbagai bencana di muka bumi. Selain itu, perubahan iklim juga mengacaukan keseimbangan alam termasuk rusaknya sistem pertanian yang berakibat pada ancaman terhadap ketersediaan pangan. Krisis tersebut tidak dapat dilepaskan dari perilaku manusia dan gaya hidupnya yang eksploitatif terhadap alam. Manusia hanya memikirkan apa yang baik bagi spesies manusia dan bahkan tak segan-segan mengorbankan mahluk hidup lainnya.

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah (SW) Jawa Tengah menyadari panggilannya untuk merawat dan berbagi kehidupan sebagai bagian dari Misi Allah untuk memelihara dan menjaga keutuhan ciptaan. Oleh karena itu, Departemen Kesaksian dan Pelayanan GKI SW Jateng mengadakan Semiloka Gereja Peduli Lingkungan dengan tema “Merawat Lingkungan Berbagi Kehidupan”, pada tanggal 14 – 16 November 2013 bertempat di Griya Sejahtera Ngablak, Kopeng Jawa Tengah. Harapannya, Semiloka ini dapat menghasilkan perspektif GKI (SW) Jateng atas krisis ekologis yang terwujud dalam usulan garis besar arahan dan perencanaan program terkait lingkungan hidup. Selain itu, Semiloka ini juga menghasilkan rencana tindak lanjut berupa gerakan bersama yang dapat disosialisasikan dan direalisasikan oleh Jemaat-Jemaat GKI SW Jateng baik di tingkat klasis maupun lokal.

Semiloka ini dihadiri oleh utusan dari masing-masing klasis Sinode wilayah Jawa Tengah, Romo Andang L. Binawan, SJ. (Dosen STF Driyarkara-Jakarta & penggerak Sadar Lingkungan Di Keuskupan Agung Jakarta) menjadi salah satu nara sumber, beliau mengatakan manusia saat ini terjangkit sindrom NIMBY “ Not In My Back Yard “atau tidak peduli dengan lingkungan, sampah bisa dibuang di mana saja asal tidak merepotkan dan tidak mengotori wilayah saya.            
Paradigma lama tentang Kata “membuang sampah” hendaknya diganti dengan kata “menaruh sampah” maka kesan sampah sebagai bahan buangan bisa diubah menjadi bahan yang beguna bagi manusia. Usia sampah bisa diperpanjang dengan metode 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Jika pola ini telah mengakar pada masyarakat, maka dengan sendirinya akan tercipta “habitus” sadar lingkungan yang sangat penting pada upaya pelestarian lingkungan.

Turut hadir dalam dalam kegiatan ini BSMJ (Bank Sampah Mahasiswa Jogja). Komunitas ini membagikan pengalaman sejarah terbentuknya lembaga yang muncul ditengah keresahan akan semakin apatisnya kaum muda khususnya mahasiswa Yogyakarta dalam melestarikan lingkungan. Bank sampah juga bercerita tentang pengalaman mengelola sampah plastik dan berkebun di lahan sempit dengan penyediaan kompos mandiri. Pengalaman kecil mereka diharapkan dapat menginspirasi gereja untuk mulai melakukan sesuatu demi terciptanya lingkungan hidup yang lestari bagi kelangsungan hidup manusia saat ini dan di masa yang akan datang.
       
Semilloka tersebut menghasilkan pemetaan masalah : sampah yang tidak dapat terurai, kerusakan ekosistem, alih fungsi lahan, polusi udara, dan eksploitasi air, yang nantinya akan diangkat menajdi usulan garis besar arahan dan perencanaan program terkait lingkungan hidup Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah (SW) Jawa Tengah.

Mari kita dukung gereja menciptakan rumah yang baik bagi makhluk hidup. SRB

Jumat, 15 Agustus 2014

I’m An Earth Keeper

(Bedah Film Rain Forest dalam rangka Peringatan Hari Lingkungan Hidup, oleh BSMJ & GMKI Cabang Yogyakarta)

Lingkungan hidup sudah berumur sangat tua, semakin tua usia, semakin rentan pula hidup si pemilik usia. Lingkungan butuh upaya perawatan untuk menunjang kelangsungan hidup. Namun, sampai saat ini hanya segelintir umat manusia yang melakukannya. Fakta membuktikan bahwa golongan tualah yang berperan aktif merawat lingkungan. Kemana kaum muda? Apa jadinya jika suatu saat golongan tua “purnawirawan” dalam misinya? Oleh sebab itu, dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup dan sebagai upaya untuk menarik minat kaum muda agar lebih dekat pada alam, Bank Sampah Mahasiswa Jogja (BSMJ) bekerja sama dengan GMKI cabang Yogyakarta mengadakan bedah film Rain Forest bertempat di Aula tiga, Wisma Imanuel BKS PGI-GMKI, Samirono Baru, Yogyakarta (11/06/2014) dengan nara sumber Ansel Kaba Kahan, S.Sos (Klub Indonesia Hijau).

Film ini bercerita tentang investigasi perusakan hutan dan ilegal loging di Indonesia, yang mengakibatkan bencana alam dahsyat di setiap daerah yang rusak ekosistemnya seperti banjir bandang dan tanah longsor yang kerap kali melanda daerah Nusantara. Rain Forest mengungkapkan secara gamblang siapa aktor dan dalang yang berperan dalam perusakan hutan Indonesia, serta perang antara lembaga pemerhati lingkungan melawan mafia kayu internasioanl. Ansel Kaba Kahan selaku nara sumber mengatakan, “lingkungan butuh pejuang untuk mempertahankan keharmonisan dan keberlangsungan hidup umat manusia khususnya anak cucu kita di masa depan”.

Turut hadir dalam acara tersebut, Pdt. Mathelda Yeanne Tadu S.Si selaku Pendeta Mahasiswa Yogyakarta sekaligus penasehat dan pendiri BSMJ. “Acara bedah film yang tayang perdana malam ini sangat berguna, karena kembali merefleksikan diri kita pada arti keberpihakan nyata terhadap lingkungan hidup” ujar beliau. Tak lupa beliau berpesan agar kaum muda siap menerima dan melanjutkan tongkat estafet sebagai penjaga lingkungan. Dipenghujung acara, seluruh peserta bersama-sama mengucapkan selamat hari lingkungan hidup, dan berjanji bahwa saya adalah penjaga bumi (I’am an earth keeper). SRB